Peristiwa Pengkhianatan PKI dan Keganasan PKI (Bagian: 4)
Oleh: DRS. Miswar Pasai, MH, Ph.D Peristiwa pengkhianatan dan keganasan PKI tahun 1965, benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dampak dari pengkhianatan dan pergolakan PKI yang hendak mengubah Pancasila sebagai Dasar Negara, menjadi NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis) di Indonesia menimbulkan berbagai pergolakan dan perlawanan di seluruh Indonesia pada tahun 1965. Peristiwa pemberontakan PKI di Jakarta tahun 1965 itu, menyebabkan meninggalnnya 7 (tujuh) pahlawan Revolusi, yaitu: Jendral Ahmad Yani, dan kawan-kawan. Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu, terasa sangat rendah dan sulit, sehingga mengakibatkan dukungan rakyat kepada Presiden Soekarno dan PKI ketika menjadi meluntur. Seruan untuk mengganyang Malaysia, tetapi mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan “Ganyang Malaysia” yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi dan keamanan. Tingkat inflasi yang mencapai 650%, sehingga membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka. Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap kelompok yang pro kepada PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya di Indonesia pada masa itu. Peristiwa Lubang Buaya Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. Selain itu, Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya “Our local army friends” (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk “ditindaklanjuti”. Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku “Indonesian Upheaval”, yang dijadikan basis skenario film “The Year of Living Dangerously”, dia sering menukar data-data apa yang dia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita. Isu Keterlibatan Soeharto Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat. Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan). Dari peristiwa dan akibat kebiadan serta kekejaman G-30-SPKI dalam melancarkan aksinya untuk menguasai Indonesia, dan dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara Komunis, tidak berhasil dilakukan kelompok pengkhianat terhadap bangsa Indonesia yang mempunyai dasar dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila yang digunakan sebagai dasar hukum dalam menjalanakan dan melaksanakan aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi ada niat yang tidak baik dari kelompok tertentu yang ada di Indonesia, yaitu pihak yang pro kepada pemerintahan China yang dikenal dengan poros Bejing. Selanjutnya, keenam pejabat tinggi yang dibunuh akibat kekejaman PKI tersebut adalah: Letjen TNI Ahmad Yani(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi) Mayjen TNI Raden Suprapto(Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi) Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan) Mayjen TNI Siswondo Parman(Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen) Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik). Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat) Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. Selain itu, beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban: Bripka Karel Satsuit Tubun(Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena) Kolonel, Katamso Darmokusumo(Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta) Letkol, Sugiyono Mangunwiyoto(Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta) Pasca Peristiwa G-30S-PKI Seterusnya, pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G-30S-PKI), terkait dengan peristiwa saat pemakaman para pahlawan revolusi, tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan. Setelah peristiwa itu, literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G-30-S-PKI, banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan “kudeta” tersebut. Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Lalu, melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal”, yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Pada saat yang bersamaan, diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol. Untung Sutopo. Sedangkan di Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik oleh PKI pada sore hari 1 Oktober…