Oleh:
DRS. Miswar Pasai, MH, Ph.D
Peristiwa pengkhianatan dan keganasan PKI tahun 1965, benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dampak dari pengkhianatan dan pergolakan PKI yang hendak mengubah Pancasila sebagai Dasar Negara, menjadi NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis) di Indonesia menimbulkan berbagai pergolakan dan perlawanan di seluruh Indonesia pada tahun 1965. Peristiwa pemberontakan PKI di Jakarta tahun 1965 itu, menyebabkan meninggalnnya 7 (tujuh) pahlawan Revolusi, yaitu: Jendral Ahmad Yani, dan kawan-kawan.
Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu, terasa sangat rendah dan sulit, sehingga mengakibatkan dukungan rakyat kepada Presiden Soekarno dan PKI ketika menjadi meluntur. Seruan untuk mengganyang Malaysia, tetapi mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan “Ganyang Malaysia” yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi dan keamanan.
Tingkat inflasi yang mencapai 650%, sehingga membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap kelompok yang pro kepada PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya di Indonesia pada masa itu.
Peristiwa Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Selain itu, Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya “Our local army friends” (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk “ditindaklanjuti”. Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku “Indonesian Upheaval”, yang dijadikan basis skenario film “The Year of Living Dangerously”, dia sering menukar data-data apa yang dia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat. Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA.
Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
Dari peristiwa dan akibat kebiadan serta kekejaman G-30-SPKI dalam melancarkan aksinya untuk menguasai Indonesia, dan dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara Komunis, tidak berhasil dilakukan kelompok pengkhianat terhadap bangsa Indonesia yang mempunyai dasar dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila yang digunakan sebagai dasar hukum dalam menjalanakan dan melaksanakan aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi ada niat yang tidak baik dari kelompok tertentu yang ada di Indonesia, yaitu pihak yang pro kepada pemerintahan China yang dikenal dengan poros Bejing. Selanjutnya, keenam pejabat tinggi yang dibunuh akibat kekejaman PKI tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto(Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman(Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik).
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. Selain itu, beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuit Tubun(Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel, Katamso Darmokusumo(Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol, Sugiyono Mangunwiyoto(Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Pasca Peristiwa G-30S-PKI
Seterusnya, pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G-30S-PKI), terkait dengan peristiwa saat pemakaman para pahlawan revolusi, tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan. Setelah peristiwa itu, literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G-30-S-PKI, banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan “kudeta” tersebut. Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Lalu, melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal”, yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Pada saat yang bersamaan, diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol. Untung Sutopo.
Sedangkan di Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik oleh PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Sukarno, dan Sekretaris Jenderal PKI, Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para “Pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim, di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Selanjutnya, pada tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “Persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “Pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.
Seterusnya, pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet seperti, Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Presiden Sukarno bahwa, “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik. “Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan”. Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam. Setelah itu, pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”
Peristiwa Tahun 1965-1966
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA, menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah Time memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Sementara itu, Pulau Bali, yang sebelumnya dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan tahun 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan itu. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat Tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu. Supersemar dan Pertemuan Jenewa
Seterusnya, lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas itu, pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Sejak tahun 1967, setelah Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno, tanggal 1 Oktober ditetapkan oleh Soeharto (dengan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967) sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu, pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi upacara dan tabur bunga yang dilanjutkan.
Selanjutnya, pada 29 September – 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk “Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965” ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
- Lim Joey Thay.
- Nawaksara22 Juni 1966, Sidang Umum ke-IV (4) MPRS.
- Gerakan Wanita Indonesia.
- Monumen Pancasila Sakti.
- Letnan Kolonel Untung.
- Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit).
- Resimen Tjakrabirawa (Cakrabirawa).
- Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan Komunis Indonesia.
- Museum Jenderal Besar Doktor Abdul Haris Nasution.
- Museum Sasmita Loka Jenderal Tentara Nasional Anumerta (Museum SL-Ahmad Yani). ***MPI ***
(Catatan: Artikel ini dikutip dari berbagai sumber)
BACAAN DAN SUMBER RUJUKAN
Detik.com, (d-574735). Dikutip dari, G30S PKI: Sejarah, Tujuan, Kronologi,
dan Latar-belakangnya. Dikutip dari, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5747435/g30s-pki-sejarah-tujuan-kronologi-dan-latar-belakangnya.
Republika, (10534). Dikutip dari situs, https://www.republika, Jakarta. Memembantai-umat-
Islam, tahun 2019.
Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, 1 (1): 131–205, April
1966, doi:10.2307/3350789, JSTOR 3350789, diakses tanggal 20 September 2009.
The appendices of Roosa (2006) contain translations of two primary sources: a 1966
document by Supardjo and the 1967 court testimony of Kamaruzaman Sjam. Roosa also lists interviews he conducted which are archived at the Institute of Indonesian Social History in Jakarta.
Easter, David, “Keep the Indonesian pot boiling”: Western intervention in Indonesia, October
1965-March 1966′, Cold War History, Volume 5, Number 1, February 2005.
Waskito, Joko. (ed) Bilven. Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota
Sekretariat CC KI. Cetakan 1, Ultimus, Juli 2015. ISBN 978-602-8331-60-9
Latief, Busjarie. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Lembaga Sejarah PKI.
Ultimus, Oktober 2014. ISBN 978-602-8331-50-0.
Sulistyo, Hermawan. Palu arit di ladang tebu – Sejarah pembantaian massal yang terlupakan [1965-1966]. Kepustakaan Populer Gramedia. Juni, 2000. ISBN 979-9023-42-4.
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965 – Bagaimana Orde Baru melegitimasi
anti-komunisme melaui sastra dan film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8
Pour, Julius. Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang/catatan Julius Pour,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, ISBN 978-979-709-524-6, 2010.
Heru Atmodjo, Garda Sembiring, Harsutedjo. Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb)
Heru Atmodjo. Seri pelurusan sejarah ’65. Testimony of Heru Atmodjo, an Indonesian Air Force pilot, on the coup d’etat of Gerakan 30 September 1965. The University of
Michigan, ISBN 979-97816-7-1, ISBN 978-979-97816-7-3, Tride, 2004.
Alham, Asahan, ed. (2002), Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: Lontar Foundation, ISBN 978-979-8083-42-6
Anderson, Benedict R. & McVey, Ruth T. (1971), A Preliminary Analysis of the 1 October 1965, Coup in Indonesia, Interim Reports Series, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, OCLC 210798
Anderson, Benedict (May 2000), “Petrus Dadi Ratu”, New Left Review, London, 3: 7–15,
diakses tanggal 18 September 2009.
Crouch, Harold (April 1973), “Another Look at the Indonesian “Coup””, Indonesia, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, 15 (15): 1–
20, doi:10.2307/3350791, JSTOR 3350791, diakses tanggal 18 September 2009
Crouch, Harold (1978), The Army and Politics in Indonesia, Politics and International
Rafadi, Dedi & Latuconsina, Hudaya (1997) Pelajaran Sejarah untuk SMU Kelas 3 (History
for 3rd Grade High School), Erlangga Jakarta. ISBN 979-411-252-6
Ricklefs, M.C. (1982) A History of Modern Indonesia”, MacMillan. ISBN 0-333-24380-3.***