Oleh:
DRS. Miswar Pasai, MH, Ph.D
Sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia selalu diuji dan diganggu oleh pihak asing, terutama para penjajah, dan komunisme. Setelah kemerdekaan Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dua kali melakukan pemberontakan di Indonesia. Pertama peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Tengah pada tahun 1948, yang dikenal dengan peristiwa pemberontakan PKI yang kedua di Indonesia. Peristiwa itu, terjadi pada tahun 1948, persis setelah 3 tahun Indonesia memprokalamirkan kemerdekaannya kepada dunia internasional, tepatnya pada 17 Agustus 1945.
Kendatipun Indonesia telah merdeka, nafsu busuk kaum penjajah, tetap ingin berkuasa untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia untuk dibawa kenegara penjajah seperti Belanda yang sempat menjajah Indonsesia selama 350 tahun, seperti yang pernah diajarkan oleh para guru-guru kita tahun 70-an ketika menuntut ilmu pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bangsa yang tidak baik, adalah bangsa yang tidak mengenang dan tidak mengenang peristiwa penajajahan yang merugikan dan membuat Indonesia ladang perbruruan untuk mengambil harta dan kekayaan Indonesia untuk dibawa dan dipindahkan ke negara penajah, misalnya seperti, Belanda dan Jepang.
Belanda, sempat menjajah Indonesia, selama 350 tahun, dan Jepang sempat pula bercokol menguasai Indonesia selama 3,5 tahun (tiga setengah tahun) sebagaimaan dibaca dalam buku-buka sejarah Indonesia. Dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, konon kabarnya, penderitaan yang dirasakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia, hampir sama yang dirasakan ketika dijajah oleh tentara penjajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian?
Keganasan PKI di Magetan
Pada tahun 1948, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur juga terjadi pembantaian pejuang, ulama, dan tokoh masyarakat oleh orang-orang PKI. Tragedi pembantaian PKI saat itu juga menjadi catatan kelam dalam sejarah yang menimpa kaum santri dan ulama. Salah satu yang menjadi incaran PKI adalah Pondok Pesantren Cokrokoptopati Ibnu Sabil Takeran, Magetan. Dalam sejarahnya, Pesantren Ibnu Sabil Takeran dikenal sebagai basis Partai Masyumi. Di sana pula para tokoh-tokoh Masyumi, para ulama besar dan kaum santri biasa berkumpul.
Keganasan dan kekejaman PKI pada masa itu hingga kini masih dikenang kuat oleh masyarakat Magetan. Semua tragedi itu kini dapat disaksikan melalui Monumen Soco yang terletak di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Magetan. Monumen itu menjadi simbol sejarah kebrutalan PKI terhadap warga Magetan. Tepat di bawah monumen itulah, dulunya mayat-mayat korban pembantaian PKI dari kalangan ulama dan santri dibuang.
Saat itu PKI menciduk para ulama untuk kemudian dibunuh. Misalnya saja dengan membujuk, merayu hingga menangkap mengatasnamakan pemerintah. Ulama yang terciduk itu kemudian digiring ke sebuah sumur hingga kemudian dihabisi nyawanya. Di Monumen Soco terdapat bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban. Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat pembuangan sudah ditutup dan di atasnya dibangun sejenis tugu kecil.
Di dekat sumur itu juga dibangun prasasti nama-nama korban pembataian PKI. Di sumur itu ditemukan tak kurang dari 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Selain itu, Peristiwa G30S PKI terjadi pada tahun 1965 dan dimotori oleh Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, pemimpin terakhir PKI. Peristiwa G30S PKI terjadi pada malam hingga dini hari, tepat pada akhir tanggal 30 September dan masuk 1 Oktober 1965. Gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia, (2021).
Di antara nama-nama yang tertera di monumen Soca itu adalah pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno Magetan, KH. Sulaiman Zuhdi. Beliau merupakan salah seorang kiyai yang tidak hanya pandai dalam bidang agama, namun juga sebagai pengamal tarekat Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah. Dia juga mampu menciptakan tenaga pembangkit listrik bertenaga air pada 1938, membuat pabrik rokok, membuat pabrik kain tenun (tekstil), dan menyamak kulit hewan.
Menurut Kiai Sulaiman, yang juga dikenal sebagai pejuang gigih kemerdekaan di barisan tentara Hizbullah dijelaskan bahwa, dia merupakan salah satu komandan dan panutan dalam kesatuannya yang berkedudukan di Mojokerto. Disamping itu, Kiai Sulaiman sangat dikenal oleh masyarakat Magetan sebagai pemimpin yang disegani.
Pada masa kemerdekaan, Kiai Sulaiman kemudian menjadi penasehat Bupati Magetan, Sudibjo. Namun, keduanya akhirnya meninggal dunia pada 1948 September karena keganasan PKI ketika melakukan petualangan politik di Madiun, yang dikenal dengan Madiun Affair. Selain Kiai Sulaiman, beberapa nama lain yang menjadi korban pembantaian PKI di Desa Soco adalah Jaksa R Moerti, Kiai Muhammad Suhud yang merupakan ayah mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud, Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.
Selain Monumen Soca, ada juga Monumen Keganasan PKI yang terletak di Rejosari, Kawedanan, Magetan, Jawa Timur. Di sana terpacak 26 nama korban pembataian PKI. Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis K. H. Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun.
Kiai Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut, setelah disiksa berkali-kali oleh kelompok PKI yang biadap dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, Kiai Shofwan sempat mengumandangkan azan. Selan itu, dua orang putra Kiai Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani juga menjadi korban keganasan PKI dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.
Pondok Modern Gontor
Sejak tanggal 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Setelah Magetan, Ponorogo juga menjadi sasaran berikutnya. Kiai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor. Di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, keadaan yang semula tenang menjadi penuh kekhawatiran. Meskipun jarak antara Gontor dan Madiun terpaut sekitar 40 kilometer, semua peristiwa itu membuat para santri resah. Mereka khawatir akan menjadi korban situasi yang tidak menguntungkan itu.
Sebagian santri kemudian ada yang minta izin pulang, khususnya mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pondok. Sementara itu yang lain masih banyak yang tetap tinggal di dalam pondok. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal sebagai pimpinan Pondok Pesantren Gontor mencoba bersikap tenang sambil berpikir tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatisipasi keadaan tersebut.
- Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi, kemudian bermusyawarah dengan beberapa santri seniornya, seperti Ghozali Anwar dan Shoiman Lukmanul Hakim. Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak sesuatu yang tidak mungkin. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dari para pemberontak dengan cara mengungsi. Dalam buku berjudul: “Dari Gontor Merintis Pesantren Modern”, dijelaskan bahwa untuk menjaga pondok selama pengungsian berlangsung sekaligus menghadapi PKI jika sewaktu-waktu datang , secara khusus kedua kiai tersebut menugaskan santrinya, Shoiman untuk menjaga Pondok Modern Darussalam Gontor selama kiai mengungsi.
Selain itu, muballigh Alumni Gontor, Ahmad Ghozali Fadli dalam tulisannya menjelaskan bahwa, setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor. Mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak.
Buku-buku santri juga dibakar habis. Peci dan baju-baju santri yang tidak terbawa juga mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Alquran mereka injak dan bakar. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh kelompok PKI dalam bentuk kekerasan dan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945, ternyata masih berlanjut dan muncul ke permukaan sejak 1960. Meletusnya aksi Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI) di Indonesia, seakan-akan menjadi antiklimaks.
Namun, sejarah tragedi G30S-PKI tidak perlu diungkap secara panjang dalam kesempatan kajian ini, karena sudah banyak terdapat di dalam buku-buku sejarah dan media massa. Untuk membaca dan mengetahui tentang peristiwa yang sangat memilukan bangsa Indonesia itu, tidak pantas dilakukan. Sebab, peristiwa tersebut mengakibatkan matinya tujuh pahlawan revolusi, yang pada umumnya adalah, Jendral terbaik yang dimiliki Indonesia pada saat itu.
Peran Para Ulama
Perang melawan gerakan kelompok PKI di Indonesia, pada saat itu sangatlah massif yang dilakukan oleh para ulama dan bangsa Indonesia yang sangat anti terhadap tindakan dan kekejaman yang pernah dilakukan oleh kelompok yang hendak mengubah dasar negara Pancasila menjadi faham Komunisme. Gerakan PKI itu, wajib ditumpas hingga ke akar-akarnya, karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Anehnya, setelah Indonesia merdeka, PKI merupakan partai terbesar setelah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan partai Nahdlatul Ulama (NU).
Selanjutnya, pengalaman sejarah terkait dengan PKI di Indonesia, tidak hanya terjadi pada tahun 1965, akan tetapi, jauh sebelum tahun 1965, tragedi pemborantakan pernah terjadi tahun 1948. Dengan demikian, pemberontakan PKI tahun 1965 adalah merupakan pemberontakan kedua yang dilancarkan oleh kelompok yang hendak mengubah dasar NKRI dari Pancasila dan UUD 1945 menjadi faham Komunisme yang tentunya sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Dasar NKRI, sejak tanggal 17 Agusutus 1945.
Pada saat itu, para ulama khususnya dari kalangan NU mempunyai peran penting dalam aksi untuk menumpas Gerakan 30 September itu. Salah satunya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, ulama dan pahlawan nasional yang membesarkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Dalam buku KH. R. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, menurut Hasan Basri menjelaskan bahwa, kala itu Situbondo juga dilanda aksi-aksi sepihak PKI dan selanjutnya dilakukan kontra aksi pengganyangan yang dilakukan oleh kaum santri.
Sebagai ulama senior yang kala itu menjabat sebagai Syuriah NU Cabang Situbondo dan juga sebagai penasehat pribadi Perdana Menteri, Idham Chalid, yaitu Kiai As’ad, pada saat itu selalu mengadakan kontak dengan Jakarta untuk mendapatkan konfirmasi yang benar terkait dengan situasi politik secara nasional.
Ketika peristiwa berdarah G30S/PKI meletus, kekuatan NU terbilang sangat solid. Hampir seluruh ulama NU di persada Indonesia menjadi rujukan dan legitimasi bagi penumpasan antek-antek PKI, termasuk Kiai As’ad.
Menurut keterangan saksi hidup di Situbondo, peran Kiai As’ad saat itu sangat menentukan. Hampir semua gerakan penumpasan baik oleh ABRI maupun gerakan anti-PKI, terlebih dahulu mendapat konfirmasi Kiai As’ad. Kiai As’ad mengutuk PKI yang selalu menjadi biang kerok pemberontakan. “Semua ini ulah PKI. PBNU harus mendesak pemerintahan agar membubarkan PKI,” kata Kiai As’ad dikutip dari buku KH. R. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. (Artikel ini dikutip dari berbagai sumber).***