Oleh:
DRS. Miswar Pasai, MH, Ph.
Peristiwa pengkhianatan PKI tahun 1965, merupakan bentuk pengkhianatan yang dilakukan oleh oknum pemimpin negara terhadap bangsa dan rakyatnya sendiri. Sebab, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ternyata ada niat jahat dari kelompok tertentu untuk berkhianat dari dasar NKR yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 direncanakan diubah dengan ajaran faham komunis melalui poros Bejing, Republik Rakyat China (RRC).
Adanya upaya kelompok tertentu yang ingin mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila menjadi Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom), mendapatkan tantangan dan perlawanan dari sebagian tokoh nasionalis, kaum agama, Adat untuk memberikan perlawnan terhada ide Nasakom yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno, dan kawan-kawan. Ide tersebut, mendapat perlawan dari kelompok agama, dan tokoh-tokoh adat. Puncak dari pergerakan PKI di Indonesia ditandai dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa G30-SPKI, adalah sebuah peristiwa yang terjadi di tengah malam pada tanggal 30 September 1965 sampai pada awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965. Ketika terjadi peristiwa G-30-SPKI itu, sejumlah tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta militer. Dalam dokumen pemerintah, gerakan ini disebut sebagai Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Istilah lainnya yang juga digunakan untuk peristiwa itu, adalah Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), atau Gerakan Satu Oktober (Gestok), .
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan Partai Komunis terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan para petani anggota Barisan Tani Indonesia yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan. Kemudian, Ir. Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Dia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin”, Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM, seperti dikutip dari Wikipedia Indonesia, (2021).
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal mengatasi masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan Kelima
Pada saat kunjungan Mentri Luar Negeri Indonesia, ketika dibajat oleh Subandrio ketika ke Tiongkok, maka Perdana Tiongkok (China) pada saat itu, Menteri Zhou Enlai menjanjikan, 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno, tetapi pihak Mentri Zhou Enlai, belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya peristiwa G30S. Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI, berdasarkan tawaran perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri dan terlepas dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal itu akan menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan pihak yang berfaham PKI.
Berawal dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan “kepentingan bersama”, polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “Sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” sebagai subjek karya-karya mereka, sebagaimana dikutip dari Wikipedia, (2021). Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain). Menteri-menteri yang berhaluan PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa, angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis ”rakyat”.
Jenazah di Lubang Buaya
Selanjutnya, salah seorang tokoh PKI, yaitu D. N. Aidit, sempat memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata, ketika itu dia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk dengan para komunis”. Sedangkan rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di tempat-tempat industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan, karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis).
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa, “Nasakomisasi”, angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa, para aparatur militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G-30-S PKI, telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian.
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, dan menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Ir. Soekarno, yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia” kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk “mengganyang Malaysia” ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Ketika mengetahui bahwa, Tentara Nasional Indonesia (TNI), tidak mendukungnya, maka Ir. Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng-”ganyang Malaysia”. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan “Ganyang Malaysia” yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk, mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta–Beijing–Moskow–Pyongyang–Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965). Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu “giliran PKI akan tiba”. Selanjutnya, Soekarno berkata bahwa, “Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang”.
Faktor Amerika Serikat
Di pihak Angkatan Darat, telah terjadi perpecahan internal yang mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal dan kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini. Amerika Serikat, pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik. (Artikel ini dikutip dari berbagai sumber). ***