Penulis: Ziyad Ahfi
Sebagai salah satu tiang penyanggah demokrasi, Jurnalisme mesti adil sejak dalam pikiran. Ia mesti bersandar pada kebenaran, sehingga masyarakat dapat memperoleh berita yang objektif.
Independent. Dan tidak terpengaruh (intervensi) oleh pihak manapun.
Akan tetapi, dalam kenyataanya, banyak produk jurnalisme yang masih bersandar pada kepentingan sepihak. Jujur saja, bisa dibilang, hanya untuk sekadar viral dan mengejar rating. Padahal dampak dari orientasi media yang seperti itu bisa berakibat fatal. Dapat membuat kegaduhan di tengah masyarakat, merusak kerukunan, dan turut melanggengkan ketidakadilan.
Di era Post-Truth (era kebohongan), orang-orang sudah mulai jarang membutuhkan fakta, yang mereka butuhkan hanya apa yang mereka inginkan. Sekadar untuk memenuhi kepentingan Pragmatisme.
Dari alasan inilah peran media sangat diperhitungkan. Sebab informasi sudah menjadi bagian penting dari hidup kita. Karena dia sudah melekat, banyak oknum yang menjadikannya sebagai alat untuk mengejar kepentingan pragmatis semata.
Logikanya sama dengan logika kapitalis. Hanya sekadar cari untung. Buruk atau tidaknya akibat, urusan belakangan. Sebab tujuan hanya rating, menyediakan algoritma yang berpotensi viral, meski itu bisa memcahbelah masyarakat.
Framing media hari-hari ini jelas bertolak belakang pada prinsip-prinsip jurnalisme. Khususnya pada prinsip disiplin verifikasi. Menurut Bill Kovach di dalam bukunya yang berjudul The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers): “Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi.”
Katanya, “Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.”
Apa bedanya media minim verifikasi dengan kaum sofis, kalau benar dan salah hanya tergantung pesanan. Mengubah opini demi mencapai tujuan di luar kebenaran. Yang salah diupayakan benar. Dan yang benar diupayakan salah.
Seperti yang terjadi baru-baru ini misalnya, ketika Bupati Kampar, Catur Sugeng Susanto beserta rombongan tidak melepas sepatunya ketika memasuki rumah warga pada saat membagikan BLT-DD (Bantuan Langsung Tunai Dana Desa).
Media berbondong-bondong ikut memposting, karena tahu berita itu berpotensi viral. Dengan framing yang mengarah pada ketidak-sopanan bupati, tentunya. Lalu apa yang terjadi? Emosi warganet memuncak. Mengkecam. Bahkan tak sedikit yang menggurui tanpa menimbang.
Mengapa perdebatan layak atau tidaknya hanya urusan pakai sepatu atau lepas sepatu? Kalau bicara soal etika, seharusnya yang dilihat adalah keseluruhan sikap beliau kepada warga. Gerak geriknya. Gesture. Rasa hormat dan empati. Dan yang lebih penting, pemberian bantuan yang dia lakukan.
Kalau memang mau bicara soal etika, tidak bisa sepotong-sepotong, harus dilihat secara luas. Sama seperti pemberitaan, kalau hanya diambil sepotong-sepotong sesuai kepentingan narasi media, itu bisa disebut framing.
Pertanyaannya, sudahkah media-media tersebut melakukan verifikasi terlebih dahulu? Sehingga masyarakat tahu duduk perkara dan kejadian yang sebenarnya?
Saya kira, kita sesekali perlu menelisik isi berita sebelum menjatuhkan kesimpulan. Berbahaya bila menelan mentah-mentah begitu saja. Bagaimana caranya?
Pertama, setiap berita adalah hasil dari kontruksi pembuatnya.
Yang perlu dicari tahu adalah, siapa pembuat beritanya? Dari mana asal sumbernya?
Kedua, setiap berita menonjolkan bagian tertentu dengan cara tertentu. Yang perlu dicari tahu, apa pesan yang ingin disampaikan dan ditonjolkan itu?
Ketiga, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dipahami orang-orang.
Yang perlu dicari tahu, mengapa orang lain bisa memahami satu berita berbeda dengan pemahamanku?
Keempat, setiap media mengandung nilai dan sudut pandang tertentu.
Yang perlu dicari tahu, apa nilai dan sudut pandang berita ini? Dan sudut pandang apa dalam berita ini yang media itu singkirkan?
Kelima, media dikelola untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan tertentu.
Yang perlu dicari tahu, mengapa pesan/berita ini dilontarkan ke ruang publik? Untuk apa?
Demokrasi pada akhirnya rusak, bahkan bisa berakibat anarkis, jika esensi dari jurnalisme saja masih diabadikan. Jika prinsip verifiasi ini diabaikan, sama saja media-media itu sedang melempar batu lalu sembunyi tangan.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta